KESULTANAN TERNATE PADA ERA PEMERINTAHAN SOEKARNO (1945-1968)
Sari
Proklamasi kemerdekaan RI 1945, secara politik bagi Kesultanan Ternate merupakan awal keruntuhan pranata feodalisme dengan lahirnya negara baru (negara kesatuan RI) tentu menjadi ancaman supermasi politik dan ekonomi mereka. Peran dan kedudukan kaum elite yang otonom di Kesultanan Ternate yang telah berabad-abad dinikmati, mendapat tantangan dengan dibangunnya ideologi negara kesatuan yang mengedepankan basis loyalitas pada negara dengan dilakukannya pemisahan antara jabatan-jabatan publik dalam format politik modern dengan kekuasaan tradisional. Dengan demikian seorang sultan tidak secara otomatis menjadi gubernur maupun bupati, melainkan dipilih melalui kontestasi melalui partai politik atau jabatan-jabatan dalam birokrasi bukan lagi suatu yang melekat secara geneologis melainkan harus didasarkan atas kompotensi tertentu. Dalam menghadapi perubahan tersebut, solusi yang ditempuh oleh Kesultanan Ternate adalah berdiri atau bergabung dalam logika kekuasaan Soekarno dengan melibatkan diri dalam berbagai percaturan politik nasional, ataukah mengambil sikap berbeda dengan mengikuti konsep negara yang digagas oleh van Mook pada awal kemerdekaan RI. Perbedaan persepsi mengenai bentuk dan sistem pemerintahan Indonesia pasca kemerdekaan yang akan menggantikan bentuk dan sistem pemerintahan kolonial Hindia Belanda merepresentasikan kedua kubu yang berbeda. Pandangan kaum nasionalis meyakini bahwa keutuhan Negara Indonesia tergantung pada kuatnya kontrol pusat, sedangkan pandangan Iskandar Djabir Syah (Sultan Ternate), justru berangapan bahwa Indonesia akan tampil sebagai negara demokratis yang egaliter, dengan memberikan otonomi yang cukup luas kepada provinsi-provinsi yang ada (khususnya kawasan Timur Indonesia).
Kata Kunci : Sejarah Politik, Kesultanan Ternate dan  Pemerintahan Soekarno
Teks Lengkap:
PDFDOI: https://doi.org/10.33387/jeh.v5i2.1122
Refbacks
- Saat ini tidak ada refbacks.